Bolehkah AI Dipakai Buat Kampanye dan Apa Efeknya?

Penggunaan kecerdasan buatan (AI) generatif untuk kampanye disebut sah saja karena sejauh ini tidak ada aturan yang membatasi kandidat dalam menampilkan citra diri.

Sebelumnya, pendukung pasangan calon tertentu di Pilpres 2024 memakai AI untuk mengembangkan gambar di alat peraga kampanye.

“Ruangnya memang terbuka karena memang tidak ada batasan-batasan yang jelas terkait bagaimana mereka menampilkan citra diri,” ujar Wahyudi Djafar, Direktur Eksekutif Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM), dalam diskusi bertajuk Mengidentifikasi Ancaman dan Risiko Keamanan Siber dalam Pemilu 2024 di Jakarta, Rabu (20/12).

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Terlepas dari itu, isu terkait informasi rekam jejak para kandidat lebih penting daripada menyoroti bagaimana para kandidat membuat citra diri.

“Sebenarnya yang lebih problematis adalah ketika KPU itu tidak memberikan akses yang cukup baik terkait rekam jejak dari kandidat. Menurut saya itu lebih serius dibanding bagaimana cara mereka menampilkan citra diri melalui AI,” katanya.

Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 Tentang Pemilu (UU Pemilu) sejauh ini tak mencantumkan satu kata pun terkait AI dan larangan penggunaannya dalam kampanye Pilpres dan Pileg.

Masalah di UU Pemilu itu kemudian diuji materi oleh advokat Gugum Ridho Putra dan Tim Advokasi Peduli Pemilu (TAPP) ke Mahkamah Konstitusi (MK) terkait kampanye di UU Pemilu.

Mereka ingin peserta pemilu dilarang menggunakan teknologi AI.

Pemohon meminta Hakim menguji frasa “citra diri peserta pemilu” pada Pasal 1 angka 35, Pasal 274 ayat (1), Pasal 280 ayat (2), Pasal 281 ayat (1), Pasal 286 ayat (1) dan ayat (2), serta Pasal 299 ayat (1) UU Pemilu.

Efek negatif
Wahyudi mengatakan pemanfaatan AI untuk kampanye sama dengan pemanfaatan iklan media sosial yang melakukan micro-targeting hingga behavioral targeting.

Penggunaan teknologi terkini semacam ini, menurutnya, tak bisa dihindari, termasuk dalam konteks kampanye pemilu.

Namun, pemanfaatan AI untuk kampanye dinilainya dapat menjadi pisau bermata dua dan malah merugikan kandidat.

“Sebenarnya itu kan justru akan merugikan kandidat. Karena mungkin orang melihat antara yang muncul di banner, poster, medsos tentang citra diri si kandidat itu berbeda dengan yang ada di surat suara. Ini siapa sih sebenarnya yang ada di surat suara?” tutur Wahyudi.

“Jadi pada sisi tertentu itu sebenarnya merugikan kandidat. Jadi pisau bermata dua,” tambahnya.

Selain itu, Wahyudi mengatakan lawan politik juga dapat memanfaatkan teknologi generatif AI untuk menampilkan citra yang sebaliknya dari yang dicitrakan kandidat tersebut.

“Lawannya bisa meng-create konten yang sebaliknya dari apa yang dicitrakan si kandidat. Jadi sebenarnya bisa juga merugikan si kandidat yang memanfaatkan teknologi AI,” terangnya.

Dengan demikian, kata Wahyudi, akan lebih baik untuk menampilkan citra diri yang sebenarnya selama kampanye. Pasalnya, konten yang dibuat oleh AI, sebagaimana namanya artifisial, adalah konten yang berbeda dengan fakta yang sebenarnya.