Dewasa ini produk kendaraan ramah lingkungan di Indonesia semakin banyak, khususnya jenis mobil listrik murni alias Battery Electric Vehicle (BEV). Dalam satu tahun belakangan saja, sedikitnya ada 17 model BEV yang melantai di pasar nasional. Mayoritas dari mereka kompak menawarkan harga terjangkau di bawah Rp 500 jutaan, mulai dari Wuling Air ev Lite, Seres E1, MG4 EV, sampai Neta V.
Situasi ini terjadi seiring hadirnya beragam insentif pemerintah seperti pembebasan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM) melalui PP 74/2021 serta diskon PPN 10 persen (PMK 38/2023). Guyuran insentif ini juga membuat harga mobil listrik kini jadi lebih murah dari mobil hybrid. Salah satu faktor utama pemicu konsumen di Indonesia ketika hendak beli mobil baru.
Fakta Data
Pada tahun ini, BEV juga dibebaskan dari tarif impor utuh, tertuang dalam Peraturan Presiden (Perpres) No. 79 Tahun 2023. Membuat produsen seperti BYD dan VinFast ikut mencoba peruntungannya. Sementara mobil ramah lingkungan jenis lain, hibrida alias Hybrid Electric Vehicle (HEV), di periode sama hanya ada 10 model baru, yaitu Suzuki XL7 Hybrid, CR-V RS e:HEV, hingga Yaris Cross Hybrid.
Walau hanya diberikan keistimewaan tarif PPnBM lebih murah dari kendaraan konvensional yaitu 15-20 persen, menariknya dari sisi penjualan HEV masih jauh lebih besar dari BEV. Tercatat dalam data Gaikindo, dari total penjualan electric vehicle (EV) alias kendaraan elektrifikasi, adalah 69.763 unit. Faktanya, segmen HEV menguasai 75,3 persen dengan torehan 52.568 unit. Sedangkan BEV terhenti di 17.058 unit diikuti jenis Plug-in Hybrid Electric Vehicle (PHEV) 137 unit.
Data terkait merupakan penjualan sepanjang Januari-Desember 2023. Melihat pasar BEV yang makin ramai dan lebih murah, lantas bagaimana nasib HEV?
Untuk itu, redaksi Kompas.com berbincang dengan beberapa pengguna BEV dan HEV di Indonesia guna mendengar langsung plus-minus dari kendaraan ramah lingkungan tersebut.
Harga dan Fitur
Pembanding pertama yang paling menjadi sorotan ialah mengenai harga jual kendaraan. Pada kesempatan kali ini, redaksi berbincang dengan satu orang pengguna Yaris Cross Hybrid dan MG 4EV, dua model yang mewakili jenis teknologi HEV dan BEV dengan harga yang saling beririsan.
Untuk membawa pulang mobil hybrid produksi Toyota Indonesia itu konsumen harus menyiapkan dana Rp 440,6 juta. Sementara, kalau hendak menggarasikan MG 4EV, hanya perlu Rp 433 juta. Keduanya, berstatus on the road Jakarta. Dengan selisih yang hanya sekitar Rp 7 jutaan ini, dari sisi performa atau tenaga MG 4EV bisa dibilang unggul. Sebab di atas kertas, mobil ini bisa menghembuskan hingga 105 kW dan torsi 353 Nm.
Sementara Yaris Cross dengan mesin 2NR-VE 4 silindernya, dapat merilis tenaga puncak hingga 78 kw dan torsi 138 Nm. Tapi dari sisi fitur, meskipun sangat mirip MG 4EV harus mengakui keunggulan produk Toyota karena sedikit lebih lengkap, seperti ada NFC yang disematkan pada layar utama berukuran 9 inci.
“Dari sisi harga memang mobil listrik (hybrid) itu masih sedikit lebih mahal. Namun, dengan kelengkapan fitur, efisiensi konsumsi BBM, dan tidak perlu dicas, lebih tenang (pemakaian),” ujar Ikhsan Angga Kusumo, pengguna Yaris Cross Hybrid kepada Kompas.com, Kamis (1/2/2024).
Menurut pengakuan Ikhsan, situasi yang paling terasa ketika beralih ke mobil hybrid ialah konsumsi bahan bakar minyak (BBM) yang jauh lebih hemat. Selama satu tahun menggunakan Yaris Cross Hybrid, ia mengaku rata-rata konsumsi BBM yang tertera pada layar MID-nya ialah 23 kilometer per liter (1:23). “Sebelumnya saya pakai Fortuner, dalam satu bulan mungkin habis Rp 2 jutaan untuk BBM saja.
Sekarang hanya sekitar Rp 600.000 sampai Rp 900.000, jadi lumayan menghemat uang belanja,” ucap dia. Artinya, dengan mengasumsikan jenis BBM yang digunakan ialah Pertamax (Rp 12.950 per liter), maka perjalanan Jakarta-Bandung yang kira-kira berjarak 150 kilometer ia hanya mengeluarkan sekitar Rp 84.456 saja.
Sementara, Syahrul Ahmadi sebagai pengguna MG 4EV, mengaku rata-rata konsumsi energi untuk penggunaan hariannya ialah 18,7 kWh untuk tiap 100 kilometer. “Saya penggunaannya normal saja, perjalanan rumah ke kantor,” kata dia dalam kesempatan terpisah. Artinya, dalam asumsi jarak tempuh yang sama dana yang harus mengeluarkannya ialah Rp 70.000. Sebab 1 kWh mampu menempuh 5,34 kilometer sementara tarif SPKLU untuk fast charging ialah Rp 25.000.
Perjalanan jauh Meski lebih murah dalam hal penggunaan harian, Syahrul mengaku bahwa menggunakan BEV perlu penyesuaian karena harus disiplin dalam melakukan pengisian daya. Artinya, ada budaya berkendara baru yang diciptakan, berbeda dengan ketika menggunakan mobil bermesin konvensional.
Kondisi inilah yang kerap jadi perhatian, terutama ketika harus berpergian ke luar kota atau jarak jauh. Mengingat ketersediaan SPKLU saat ini belum merata. “Sebenarnya mudah, tapi memang harus terbiasa. Jangan sampai sudah di bawah 20 persen baru diisi dayanya, tapi ketika senggang saja seperti baru sampai kantor atau sampai rumah,” kata Syahrul. “Sehingga saat mau dipakai kembali, baterai sudah penuh,” tambah dia. Pernyataan serupa juga diungkapkan Ketua Umum Komunitas Mobil Elektrik Indonesia (Koleksi), Arwani Hidayat.
Dirinya sendiri, sudah menggunakan Kona EV selama tiga tahun. “Harus dipahami bahwa melakukan pengisian daya mobil listrik itu, butuh proses seperti handphone. Namun kalau sudah memakai BEV, penyesuaian tersebut tak membutuhkan waktu yang lama,” ujarnya. “Lagipula saat ini jarak tempuh mobil listrik sudah jauh, sampai 500 Km. Kalau kita pakai sehari-hari katakanlah jaraknya 50 Km, berarti isi dayanya hanya tiap seminggu sekali aja. Tidak perlu setiap hari,” lanjut Arwani.
Sedangkan dari sisi Ikhsan, penyesuaian atau kekhawatiran ketika mobil digunakan dalam jarak jauh bukanlah masalah besar. Hanya saja, ia mengaku kerap kali melihat layar konsumsi BBM. “Secara psikologis, kita tau jika mobil yang digunakan (Yaris Cross Hybrid) sangat hemat bahan bakar. Oleh karena itu, saya sering kali melihat layar MID untuk memantau konsumsinya,” kata dia.
Fakta lain, mayoritas pembeli mobil listrik di Indonesia hanya memanfaatkan untuk mobilitas dalam kota. Sedangkan, pembeli mobil hybrid bisa lebih leluasa mengajak kendaraannya keluar kota. Membuat persaingan antar model HEV dan BEV adalah memperebutkan konsumen pembeli mobil kedua dan seterusnya di dalam kota. Ingat, efektivitas teknologi HEV juga lebih terasa ketika digunakan di dalam kota, di mana kondisi lalu-lintas padat.
Maka bisa disimpulkan bahwa dalam penggunaan sehari-hari, baik BEV maupun HEV memiliki plus-minus tersendiri tergantung dengan kebutuhan. Apabila hanya digunakan harian, BEV jauh lebih hemat di samping fitur yang sangat lengkap untuk menunjangnya. Namun, ketika perjalanan jauh, kurang fleksibel karena ada beberapa aspek yang patut dipertimbangkan yaitu keterbatasan SPKLU dan waktu pengisian daya.
Masa depan HEV boleh jadi terancam BEV di Indonesia, kalau harga terus kalah bersaing dan fasilitas pengisian daya mobil listrik semakin masif.
Sumber : Kompas.com