Media sosial milik Elon Musk, Twitter, yang kini berubah nama menjadi X, kembali menghadapi gugatan di kasus dugaan pelanggaran undang-undang hak cipta di Prancis.
Gugatan itu dilayangkan oleh Kantor berita Agence France-Presse (AFP) buntut kasus yang mereka sebut sebagai “penolakan” berdiskusi soal remunerasi untuk berbagi konten berita di X.
AFP pun meminta pengadilan di Paris memaksa X memberikan informasi yang diperlukan tentang penggunaan kembali konten milik AFP, sehingga mereka dapat menghitung berapa banyak uang yang harus dibayarkan di bawah aturan di Prancis.
“[AFP] menyatakan keprihatinannya atas penolakan yang jelas dari Twitter untuk terlibat dalam diskusi mengenai implementasi hak-hak untuk pers. Hak-hak ini ditetapkan untuk memungkinkan kantor berita dan penerbit agar dibayar oleh platform digital yang mempertahankan sebagian besar nilai moneter yang dihasilkan oleh distribusi konten berita,” tulis AFP dalam siaran pers.
Langkah hukum itu dilayangkan AFP lewat Pengadilan Yudisial Paris. Tujuannya adalah untuk memaksa Twitter– sesuai dengan hukum– menyediakan semua elemen yang diperlukan untuk menilai remunerasi.
“Sebagai advokat terkemuka untuk penerapan hak-hak tetangga bagi pers, AFP tetap teguh dalam komitmennya terhadap perjuangan ini, bahkan empat tahun setelah pengesahan undang-undang tersebut,” tambah AFP.
AFP mengaku akan terus menempuh jalur hukum yang sesuai dengan setiap platform untuk memastikan distribusi yang adil dari nilai yang dihasilkan oleh pembagian konten berita.
Perluasan undang-undang hak cipta itu mencakup kutipan konten berita yang dibagikan ulang di platform digital.
Regulasi itu telah disetujui oleh Uni Eropa pada 2019 dan dialihkan ke dalam hukum Prancis pada bulan Juli di tahun yang sama.
Perluasan regulasi hak cipta Uni Eropa mencakup ekstrak artikel dan semua konten di dalamnya, kecuali cuplikan pendek dari konten berita, yang dibagikan di platform digital.
Hal ini tidak terbatas pada teks saja, bahkan mencakup konten lain yang diproduksi oleh penerbit berita seperti foto, video, dan infografis. Regulasi ini diterapkan dua tahun setelah tanggal penerbitannya.
Elon Musk menanggapi gugatan tersebut lewat sebuah postingan di akun X miliknya.
“Ini aneh. Mereka (AFP) ingin kami membayar untuk trafik ke situs mereka, di mana mereka menghasilkan pendapatan iklan dan kami tidak!?” kicau dia.
Raksasa teknologi Google sebelumnya diputus melanggar undang-undang hak cipta di negara tetangga Prancis.
Hal itu terjadi buntut keluhan dari sejumlah penerbit (termasuk AFP) bahwa Google gagal bernegosiasi secara adil dengan para penerbit berita tentang pembayaran penggunaan kembali konten mereka.
Penyelidikan antimonopoli tersebut berujung pada otoritas persaingan usaha yang menjatuhkan denda kepada Google sebesar lebih dari setengah miliar dolar AS.
Google kemudian menyelesaikan perselisihan tersebut dengan menawarkan serangkaian komitmen perilaku tentang bagaimana mereka akan bernegosiasi dengan para penerbit.
Google kemudian menandatangani kesepakatan dengan AFP dan penerbit lain untuk membayar atas penggunaan kembali konten mereka.
Dalam kasus X, keluhan bahwa perusahaan ini melanggar hukum hak cipta tampaknya kecil kemungkinannya untuk memicu intervensi dari pengadilan persaingan usaha mengingat X tidak memiliki posisi dominan dalam layanan pencarian umum.
Dikutip dari TechCrunch, Uni Eropa bukan satu-satunya kawasan yang secara hukum mewajibkan platform media sosial untuk melakukan diskusi dengan penerbit untuk memberikan remunerasi atas penggunaan ulang berita.
Australia sebelumnya telah mengesahkan regulasi tawar-menawar berita yang menargetkan Google dan Facebook pada tahun 2021.
Sementara parlemen Kanada baru-baru ini mengesahkan Undang-Undang Berita Online, yang juga mengharuskan platform teknologi bernegosiasi dengan penerbit untuk menetapkan “pembagian pendapatan yang adil” atas konten mereka.
Namun, dalam kasus terakhir, Meta dan Google terus melobi untuk menentang langkah tersebut dan mengancam akan hengkang dari Kanada, ketimbang mematuhi hukum.