Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) mengungkap alasan di balik cuaca di sejumlah daerah Indonesia terasa lebih panas dari angka suhu yang diprakirakan sebelumnya.
Belakangan, suhu panas terik memang melanda Indonesia buntut fenomena El Nino dan Indian Ocean Dipole (IOD) di musim kemarau.
“Sepekan hari terakhir ini, sebagian wilayah Indonesia mengalami fenomena suhu panas yang cukup terik pada siang hari,” kata Guswanto, Deputi Bidang Meteorologi BMKG, dalam keterangan tertulisnya, pekan lalu.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dia menyebut suhu maksimum terukur selama periode tanggal 22-29 September di beberapa wilayah Indonesia dengan kisaran suhu antara 35-38,0 derajat Celsius pada siang hari.
Sementara, pada Senin (3/10) dan Selasa (4/10), kota yang menempati peringkat teratas suhu udara adalah Majalengka (Stasiun Meteorologi Kertajati, Majalengka, Jabar) dengan suhu 36,7 derajat Celsius, dan Gorontalo (Stasiun Meteorologi Djalaludin) 35,9 derajat Celsius.
BMKG sendiri memprakirakan suhu panas Jakarta hari ini maksimum ada pada angka 31 hingga 35 derajat C. Tapi kenapa panasnya seolah-olah sedang berada di gurun, terutama saat siang hari terik?
Lembaga tersebut mengungkap ada faktor lain yang membuat suhu terasa lebih panas dari angka-angka prediksi itu.
“Feel-like temperature atau suhu yang dirasakan adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan sensasi suhu yang dirasakan oleh manusia berdasarkan suhu udara, kelembaban, dan faktor-faktor lain seperti kecepatan angin dan sinar matahari,” demikian keterangan BMKG di akun Instagram-nya, Kamis (5/10).
Berikut faktor-faktor yang berpengaruh dalam menambah rasa panas udara:
Kelembapan udara
BMKG mengungkap bagaimana kelembapan udara berpengaruh pada peningkatan rasa suhu udara.
Saat suhu udara panas ditambah dengan kelembapan udara tinggi, udara sekitar sudah mengandung banyak uap air. Hal ini memicu keringat tidak dapat menguap dengan cepat dan akhirnya “membuat suhu terasa lebih panas.”
Sementara, saat udara panas ditambah kelembapan udara rendah, udara sekitar tidak mengandung banyak uap air. Hal ini membuat keringat menguap dengan cepat sehingga membuat suhu udara terasa lebih dingin.
Kemudian BMKG juga menjelaskan bahwa Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki tingkat kelembaban yang tinggi sehingga suhu udara di Indonesia terasa lebih hangat.
Masalahnya, wilayah Indonesia punya kecenderungan kelembapan udara tinggi karena merupakan negara kepulauan dan dikelilingi oleh lautan yang hangat.
Kemudian, Indonesia terletak di wilayah tropis dengan pemanasan dari sinar Matahari yang tinggi. Faktor lainnya yakni curah hujan tinggi yang meningkatkan uap air di udara.
Faktor terakhir, kata BMKG, adalah vegetasi pada hutan hujan yang meningkatkan uap air dari proses evaporasi atau penguapan.
“Di Indonesia, kelembapan tinggi membuat suhu udara terasa hangat,” menurut keterangan itu.
Angin
Faktor selanjutnya yang berpengaruh pada suhu adalah angin. BMKG menyebut angin memberikan pengaruh terhadap suhu yang dirasakan melalui proses berikut.
“Angin yang bertiup melintasi permukaan kulit akan membawa panas tubuh yang dikeluarkan saat keringat menguap,” kata BMKG.
Hal ini, “akan membuat suhu terasa lebih dingin.”
Demikian juga “angin yang bertiup dapat menghapus lapisan udara yang menghangatkan tubuh.” Proses ini juga membuat suhu udara akan terasa lebih dingin.
Paparan sinar Matahari
Menurut BMKG, paparan langsung terhadap sinar Matahari dapat membuat suhu terasa lebih panas. Terlebih, saat ini kondisi umum di Jawa hingga Nusa Tenggara sedang minim awan.
“Saat ini kondisi cuaca di sebagian besar wilayah Indonesia terutama di Jawa hingga Nusa Tenggara (termasuk Jabodetabek) didominasi oleh kondisi cuaca yang cerah dan sangat minimnya tingkat pertumbuhan awan terutama pada siang hari,” kata guswanto.
Kondisi ini menyebabkan penyinaran Matahari pada siang hari ke permukaan Bumi tidak mengalami hambatan di atmosfer.
“Sehingga suhu pada siang hari di luar ruangan terasa sangat terik,” jelas Guswanto.
Peneliti Ahli Utama Pusat Riset Iklim dan Atmosfer BRIN Eddy Hermawan mengungkap kondisi minim tutupan awan ini buntut efek El Nino yang berpusat di Samudera Pasifik.
“Karena awan-awan ditarik menuju ke lautan Pasifik, jadi langit tidak ada penghalang sinar Matahari,” katanya.