Indonesia dan 16 negara lainnya melayangkan surat bersama kepada para pemimpin Uni Eropa untuk memprotes pemberlakuan Undang-Undang Anti-Deforestasi oleh UE pada 29 Juni lalu.
Berdasarkan keterangan resmi di situs Kementerian Luar Negeri RI, surat tersebut diteken di KBRI Brussel oleh duta besar dari 17 negara sepemahaman.
Negara-negara itu terdiri dari Argentina, Brasil, Bolivia, Ekuador, Ghana, Guatemala, Honduras, Indonesia, Kolombia, Malaysia, Meksiko, Nigeria, Pantai Gading, Paraguay, Peru, Thailand, dan Republik Dominika.
Dalam surat itu, mereka menyampaikan protes karena UU Anti-Deforestasi dianggap belum mempertimbangkan kemampuan dan kondisi lokal, produk legislasi nasional, dan mekanisme sertifikasi.
Mereka juga menganggap UU itu belum mempertimbangkan upaya-upaya dalam mencegah deforestasi dan komitmen multilateral dari negara-negara produsen komoditas, termasuk prinsip tanggung jawab bersama dengan bobot yang berbeda.
“Undang-Undang ini juga secara inheren menciptakan sistem penolokukuran (benchmarking) yang bersifat diskriminatif dan menghukum serta berpotensi melanggar ketentuan WTO,” demikian bunyi pernyataan resmi di situs Kemlu.
Melalui surat itu, belasan negara tersebut juga meminta UE memperhatikan kepentingan negara produsen dalam menyusun aturan pelaksanaan undang-undang ini.
“Negara produsen mendorong para Pemimpin UE untuk lebih melibatkan negara-negara produsen komoditas terdampak dalam memformulasikan aturan dan panduan pelaksanaan yang detail dan jelas dari UU Anti Deforestasi,” tulis Kemlu RI.
Mereka menegaskan bahwa panduan itu harus mencakup rezim kepatuhan dan uji tuntas yang spesifik untuk setiap komoditas dan produk dari para petani kecil di negara-negara produsen komoditas.
[Gambas:Video CNN]
Secara keseluruhan, surat itu menjabarkan empat poin penting yang perlu dipertimbangkan UE dalam menyusun aturan pelaksanaan UU Anti-Deforestasi.
Pertama, lebih melibatkan negara produsen komoditas dalam dialog yang substantif dan terbuka.
Kedua, menghargai upaya negara produsen komoditas dalam meningkatkan taraf kehidupan masyarakatnya melalui pembangunan berkelanjutan di tengah tantangan keterbatasan akses pendanaan, teknologi, dan bantuan pelatihan teknis.
Ketiga, mencegah dampak negatif UU Anti-Deforestasi melalui penerapan panduan pelaksanaan yang menghargai praktik-praktik berkelanjutan yang telah ada pada rantai pasok pertanian di negara-negara produsen komoditas.
Terakhir, menghindari disrupsi perdagangan dan beban administrasi yang berlebihan terkait dengan persyaratan geolokasi dan keterlacakan, sertifikasi, dan prosedur kepabeanan.