Hakim MK Beberkan Janggal Putusan Syarat Cawapres, Sentil Anwar Usman

Hakim Konstitusi Arief Hidayat menjadi salah satu dari empat hakim konstitusi yang memiliki pendapat berbeda (dissenting opinion) dalam perkara soal uji materi Nomor 90/PUU-XXI/2023 terkait batas usia minimal capres-cawapres pada UU Pemilu.

Pengujian UU Pemilu Pasal 169 huruf q itu diajukan seorang mahasiswa yang berkuliah di Solo, Almas Tsaqibbirru, yang dalam permohonannya mengaku mengidolakan Wali Kota Solo Gibran Rakabuming Raka. Putusan itu pun dikabulkan Mahkamah Konstitusi dengan amar ‘Inkonstitusional Sebagian’ yang dibacakan dalam sidang pada Senin (16/10).

Putusan itu membuat syarat capres/cawapres harus berusia minimal 40 tahun atau pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilu, termasuk pemilihan kepala daerah.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Dalam dissenting opinion yang dibacakan Arief usai pembacaan amar putusan, dia mengungkap kejanggalan yang terjadi pada proses pengambilan putusan tersebut.

Arief menegaskan pandangannya bahwa syarat usia minimal capres-cawapres merupakan kebijakan hukum terbuka (opened legal policy) yang pengaturannya diserahkan kepada pembentuk undang-undang yakni pemerintah selaku lembaga eksekutif dan DPR selaku lembaga legislatif.

Dia lalu mengatakan Perkara Nomor 29/PUU-XXI/2023, 51/PUU-XXI/2023, dan 55/PUU-XXI/2023 telah diperiksa dan diadili MK dan dinyatakan ditolak. Arief menyebut Perkara 90/PUU-XXI/2023 dan 91/PUU-XXI/2023 termasuk perkara yang relatif baru.

“Dari kelima perkara a quo saya merasakan adanya kosmologi negatif dan keganjilan pada kelima perkara a quo yang perlu saya sampaikan karena hal ini mengusik hati nurani saya sebagai seorang hakim yang harus menunjukkan sikap penuh integritas, independen dan imparsial, serta bebas dari intervensi politik mana pun dan hanya berorientasi pada kepentingan bangsa dan negara Republik Indonesia yang berdasar pada ideologi Pancasila,” ujar Arief dalam sidang pengucapan Putusan Nomor 90/PUU-XXI/2023 di Gedung MKRI, Jakarta, Senin (16/10).

Singgung jadwal sidang
Keanehan pertama yang dirasakan Arief adalah penjadwalan sidang yang terkesan lama dan ditunda.

Arief mengatakan proses persidangan pascapersidangan perbaikan permohonan menuju pemeriksaan persidangan dengan agenda mendengarkan keterangan DPR dan Presiden terkesan terlalu lama.

Bahkan, kata Arief memakan waktu hingga dua bulan pada Perkara Nomor 29/PUU-XXI/2023 dan satu bulan pada Perkara Nomor 51/PUU-XXI/2023 dan Perkara Nomor 55/PUU-XXI/2023.

Arief menjelaskan hal itu tidak melanggar hukum acara yang diatur di dalam undang-undang tentang MK maupun Peraturan MK. Namun, kata dia, penundaan perkara a quo berpotensi menunda keadilan dan pada akhirnya akan meniadakan keadilan itu sendiri (justice delayed, justice denied).

“Terlebih hal ini merupakan suatu ketidaklaziman yang saya rasakan selama lebih kurang 10 tahun menjadi hakim konstitusi dalam menangani perkara di MK,” kata pria yang juga pernah menjadi Ketua MK itu.

Arief mengaku selama ini menjadi pihak yang mengusulkan agar Mahkamah menetapkan tenggang waktu yang wajar antara sidang perbaikan permohonan dengan pemeriksaan persidangan untuk mendengarkan keterangan DPR dan Pemerintah, sehingga peristiwa serupa tidak lagi terjadi di kemudian hari. Lalu, ia menyebut perbaikan ini dapat dilakukan dengan menyempurnakan hukum acara perkara pengujian undang-undang.

Absensi Anwar Usman di RPH dan Dalih yang Berubah
Keanehan kedua adalah pembahasan dalam Rapat Permusyawaratan Hakim (RPH).

Arief mengatakan MK menggelar RPH pada 19 September 2023 untuk mengambil putusan pada perkara 29/PUU-XXI/2023, 51/PUU-XXI/2023, dan 55/PUU-XXI/2023.

Namun, RPH itu hanya dihadiri delapan hakim konstitusi, bukan sembilan. Dia mengatakan Ketua MK Anwar Usman tidak hadir dalam RPH tersebut.

Arief mengatakan pada RPH tersebut, Wakil Ketua MK Saldi Isra menjawab pertanyaannya bahwa Anwar menghindari konflik kepentingan karena perkara itu berpotensi berkaitan dengan kerabatnya pada Pilpres 2024.

“Oleh karena itu, RPH dipimpin oleh Wakil Ketua dan saya menanyakan mengapa ketua tidak hadir, Wakil Ketua kala itu menyampaikan bahwa ketidakhadiran ketua dikarenakan untuk menghindari adanya potensi konflik kepentingan (conflict of interest) disebabkan isu hukum yang diputus berkaitan erat dengan syarat usia minimal untuk menjadi Calon Presiden dan Calon Wakil Presiden di mana kerabat Ketua berpotensi diusulkan dalam kontestasi Pemilu Presiden 2024 sebagai pasangan calon presiden dan wakil presiden oleh salah satu partai politik, sehingga Ketua memilih untuk tidak ikut dalam membahas dan memutus ketiga perkara a quo,” ungkap Arief.

Perkara 29, 51, dan 55 pun diputus dengan komposisi mayoritas hakim menyatakan menolak permohonan, meski ada dua hakim dissenting opinion.

Pernikahan Ketua MK Anwar Usman dan Ida Yati, adik Presiden Jokowi, di Graha Saba, Solo, Kamis (26/5). (Arsip Istimewa)Ketua MK Anwar Usman menikahi adik Presiden Jokowi, Ida Yati, sehingga dia kemudian menjadi paman dari Wali Kota Solo Gibran Rakabuming Raka. (Arsip Istimewa)
Lalu, Arief mengatakan Anwar ikut membahas dan memutus Perkara Nomor 90/PUU-XXI/2023 dengan putusan dikabulkan sebagian. Menurut Arief, tindakan itu di luar nalar yang bisa diterima penalaran yang wajar.

Arief mempersoalkan tindakan Anwar dalam RPH untuk perkara 29/PUU-XXI/2023, Perkara Nomor 51/PUU-XXI/2023, dan Perkara Nomor 55/PUU-XXI/2023 . Lalu, dilakukan konfirmasi pada sidang RPH pada Kamis, 21 September 2023 untuk perkara Nomor 90/PUU-XXI/2023 yang diajukan pemohon Almas.

Arief mengatakan Anwar kala itu menjawab alasan absen pada RPH sebelumnya berbeda dengan yang diungkap Saldi Isra soal menghindari konflik kepentingan.

“Ketua menyampaikan bahwa ketidakhadirannya pada pembahasan dan forum pengambilan keputusan pada Perkara Nomor 29/PUU-XXI/2023, Perkara Nomor 51/PUU-XXI/2023 dan Perkara Nomor 55/PUU-XXI/2023 lebih dikarenakan alasan kesehatan dan bukan untuk menghindari konflik kepentingan (conflict of interest) sebagaimana disampaikan Wakil Ketua pada RPH terdahulu,” jelas Arief.