Perwakilan Tetap Indonesia untuk Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) Arrmanatha Nasir mengungkap proses alot Dewan Keamanan mengatasi perang Hamas-Israel.
PBB hingga kini belum mengeluarkan resolusi atau pernyataan bersama soal perang yang dimulai sejak 7 Oktober.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Usai perang pecah, Tata mengatakan fokus pembahasan di PBB yakni masalah di Gaza. Isu ini, lanjut dia, seharusnya memang ditangani DK PBB, tetapi ada isu lain yang melekat seperti situasi geopolitik.
“Namun, situasi geopolitik saat ini sangat dinamis karena adanya trust defisit termasuk di antara negara anggota Dewan Keamanan,” kata Tata saat konferensi pers virtual, Selasa (24/10) malam.
Ia kemudian berujar, “Ini mempersulit Dewan Keamanan utama untuk mengambil langkah mengatasi situasi di Gaza.”
Perselisihan itu terlihat saat DK PBB menggelar pertemuan pada 8 Oktober, sehari usai Hamas gempur Israel. Namun, mereka tak menghasilkan apapun.
Di hari itu pula, Israel balik menggempur secara besar-besaran ke daerah kekuasaan Hamas, Gaza. Setelah aksi saling serang ini, posisi masing-masing negara DK terlihat. Sebelumnya, mereka sepakat mengecam kekerasan dan pengiriman bantuan kemanusiaan.
“Saat itu, Prancis, anggota Dewan Keamanan, mengeluarkan pernyataan bersama yang menggambarkan posisi bersama DK. Namun, karena tak bisa disepakati pada akhirnya draf tak berhasil dikeluarkan,” ujar Tata.
Kemudian pada 9 Oktober, Israel mengumumkan blokade total Jalur Gaza. Mereka melarang bantuan kemanusiaan seperti makanan, bahan bakar, hingga obat-obatan masuk ke wilayah itu.
Situasi pun kian buruk di Gaza. DK PBB lantas menggelar pertemuan tertutup pada 13 Oktober. Di rapat ini, Brasil menginisiasi pertemuan secara terbuka, tetapi ada anggota lain yang menolak, sehingga pertemuan berlangsung secara tertutup.
Sekretaris Jenderal PBB sampai-sampai turun tangan memberi pengarahan di pertemuan tersebut karena perbedaan posisi negara anggota DK.
“Ini menunjukkan semakin serius situasi di Gaza sehingga Sekjen PBB langsung harus memberi pengarahan agar ada gambaran situasi penuh diterima anggota DK PBB,” ujar Tata.
Sekjen PBB menekankan penghentian perang segera, pembukaan koridor kemanusiaan, dan semua pihak menghormati hukum internasional.
Di rapat kedua ini, Tata mengatakan posisi anggota DK PBB mulai terlihat berbeda. Misalnya, Amerika Serikat yang semakin kencang mendukung Israel.
Pada 13 Oktober pula, Rusia mengusulkan draf resolusi singkat yang berisi gencatan senjata segera, pembebasan sandera, dan pemberian batuan kemanusiaan.
Lebih lanjut, Tata menjelaskan bahwa banyak negara berkembang mendukung resolusi tersebut termasuk Indonesia.
“Itu dibahas negara-negara anggota. Karena Rusia yang menyampaikan banyak kecurigaan, mereka masih ingat bagaimana Rusia berkonflik dengan Ukraina. Sehingga dukungan politis tidak didapatkan khususnya dari negara Barat,” ungkap Tata.
Saat proses voting untuk resolusi Rusia, tiga DK PBB yakni AS, Inggris, Prancis, dan Jepang, menolak draf. Dengan demikian, resolusi tak berhasil diadopsi.
Setelah gagal mencapai kesepakatan, Brasil mengeluarkan resolusi yang lebih rinci dari Rusia pada 15 Oktober. Resolusi ini baru dibahas pada 18 Oktober.
DK PBB menggelar pertemuan di tanggal tersebut usai Israel menggempur Rumah Sakit Baptis Al Ahli di Gaza.
“Kalau kita lihat draf Brasil lebih rinci Brasil mencoba berusaha mengupayakan akomodasi posisi negara Barat. Namun, resolusi diveto oleh AS sehingga resolusi tak bisa diadopsi,” ungkap Tata.
Usai beragam upaya itu gagal, Indonesia sempat mengusulkan agar PBB menggelar sesi khusus di Sidang Majelis Umum. Mereka juga menyampaikan gagasan ini ke Organisasi Kerja sama Islam (OKI), Liga Arab, hingga Palestina.
Kemudian pada 19 Oktober, Liga Arab, OKI, mengirim surat ke PBB untuk menggelar sesi khusus. RI juga melakukan langkah serupa dengan menggandeng negara anggota ASEAN yang non-OKI.
PBB lantas membalas surat dan menerima permintaan tersebut. Pada 26 Oktober, PBB akan menggelar sesi darurat khusus bahas Gaza.