15 Guru Besar Minta Transkrip Sidang Anwar Usman, MKMK Jawab Rahasia

Sebanyak 15 guru besar dan pengajar hukum tata negara (HTN) dan hukum administrasi negara yang tergabung dalam Constitutional and Administrative Law Society (CALS) meminta transkrip sidang Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Anwar Usman yang digelar tertutup kepada Majelis Kehormatan MK (MKMK).

Permintaan itu disampaikan Kuasa Hukum CALS, Violla Reininda dalam sidang perdana dugaan pelanggaran etik hakim MK yang diadili oleh MKMK di Gedung MK, Jakarta Pusat, Selasa (31/10).

“Memberikan jalan tengah supaya pelapor setidak-tidaknya bisa mengakses secara langsung transkrip dari hasil pemeriksaan etik secara internal, di kepaniteraan. Transkripnya secara langsung,” kata Violla.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

“Meskipun kami tidak dapat menghadiri secara langsung, tapi bisa mengakses dokumen transkrip pascapemeriksaan itu berlangsung,” imbuhnya.

Namun, Ketua MKMK Jimly Asshiddiqie menyatakan materi di dalam sidang tersebut bersifat rahasia.

Kebutuhan memperkuat laporan dan alat bukti
Violla mengatakan CALS meminta transkrip hasil pemeriksaan etik terhadap Anwar Usman lantaran laporan yang dilayangkan tidak bersifat satu arah.

Berdasarkan transkrip tersebut, kata dia, CALS bisa mengecek kebutuhan terkait alat bukti dan dokumen-dokumen yang memperkuat laporan mereka.

“Dari hasil transkrip dan juga pemeriksaan tadi, kami harapkan misalnya ada hal-hal yang bisa dikuatkan oleh para pemohon dalam bentuk penambahan alat bukti ataupun penambahan dokumen-dokumen lain yang terkait untuk menguatkan laporan kami,” ujar Violla.

Sementara itu, Jimly mengaku akan mempertimbangkan permintaan CALS. Jimly akan berunding bersama panitera untuk memutuskan permintaan tersebut pada Jumat, 3 November mendatang.

Kendati demikian, ia menekankan sidang pemeriksaan etik terhadap Anwar Usman oleh MKMK itu bersifat rahasia.

“Tidak semuanya mempersoal itu. Umumnya kekerabatan, yang kedua soal statement di luar. Tapi ada tiga kalau enggak salah yang mempersoalkan registrasi. Tapi bisa jadi yang kami kasih tiga itu. Karena statusnya itu rahasia,” kata Jimly.

“Biar kami lihat dulu sebab ada kesimpulannya tidak bisa. Biar kami rundingkan dulu bertiga dengan sekretariat bagaimana baiknya,” sambung pria yang pernah menjadi Ketua MK pada dekade 2000 silam.

Sebagai informasi, MKMK akan menggelar sidang dugaan pelanggaran etik di balik putusan syarat Capres-Cawapres terhadap Anwar Usman secara tertutup pada sore hari ini.

Sebelumnya, MK telah mengabulkan gugatan soal syarat batas usia pencalonan presiden dan wakil presiden.

MK menyatakan seseorang bisa mendaftar capres-cawapres jika berusia minimal 40 tahun atau sudah pernah menduduki jabatan publik karena terpilih melalui pemilu.

Putusan itu membuka pintu bagi Wali Kota Solo, Gibran Rakabuming Raka yang merupakan putra sulung Presiden Jokowi sekaligus keponakan Anwar Usman yang belum berusia 40 tahun untuk maju di Pilpres 2024.

Saat ini, Gibran telah resmi mendaftarkan diri sebagai bakal cawapres yang akan mendampingi Prabowo Subianto pada kontestasi politik nasional tahun depan.

Syarat maju Pilpres 2024
Sebelumnya, Guru Besar Hukum Tata Negara Denny Indrayana yang juga memasukkan laporan ke MKMK, meminta agar putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 90/PUU-XXI/2023 terkait syarat usia capres-cawapres tak digunakan sebagai dasar untuk maju dalam Pilpres 2024.

Hal itu disampaikan Denny dalam sidang perdana dugaan pelanggaran etik hakim MK yang diadili MKMK di Gedung MK, Selasa ini.

“Pelapor mengusulkan Putusan 90 tidak boleh digunakan sebagai dasar untuk maju berkompetisi dalam Pilpres 2024,” kata Denny yang hadir secara daring.

Menurutnya, perlu ada putusan provisi untuk menunda pelaksanaan dari putusan Nomor 90/PUU-XXI/2023 yang menabrak nalar dan moral konstitusional tersebut.

Selain itu, Denny juga meminta agar putusan tersebut tak dimanfaatkan ataupun dinikmati keuntungannya oleh para pihak yang telah dengan sengaja memanfaatkan hubungan kekerabatan antara Ketua MK Anwar Usman dengan Presiden RI Joko Widodo (Jokowi).

Denny menilai pemanfaatan relasi keluarga terkait putusan tersebut bukan hanya koruptif, kolutif, dan nepotis. Namun, juga telah merendahkan dan mempermalukan lembaga Mahkamah yang seharusnya dijaga dengan segala daya dan upaya kehormatannya.

“Dengan menerapkan penyelamatan keadilan konstitusional, maka Majelis Kehormatan Yang Mulia semoga berkenan untuk menyatakan tidak sah Putusan 90, atau paling tidak memerintahkan agar Mahkamah Konstitusi melakukan pemeriksaan ulang perkara nomor 90 tersebut, dengan komposisi hakim yang berbeda, tanpa hakim terlapor,” ujarnya.

Lebih lanjut, Denny meminta agar putusan MKMK tetap dilaksanakan meskipun ada upaya hukum banding.

Menurutnya, hal itu untuk menghindari putusan MKMK tidak dilaksanakan dalam tenggat waktu Pilpres yang sangat sempit, dan menghindari upaya banding disalahgunakan untuk menunda eksekusi.