DPR RI menetapkan Rancangan Undang-Undang Daerah Khusus Jakarta (RUU DKJ) sebagai beleid inisiatif dalam Rapat Paripurna, Selasa (5/12). Regulasi itu akan mencabut status ibu kota negara dari Jakarta.

Dalam Pasal 10 bab IV RUU DKJ disebutkan jabatan gubernur dan wakil gubernur akan ditetapkan oleh Presiden RI alias tidak melalui pemilihan kepala daerah (Pilkada).

“Gubernur dan wakil gubernur ditunjuk, diangkat, dan diberhentikan oleh presiden dengan memperhatikan usul atau pendapat DPRD,” bunyi Pasal 10 ayat (2) RUU DKJ.

Gubernur dan wakil gubernur DKJ akan menjabat selama lima tahun. Setelahnya, mereka bisa diangkat kembali untuk satu kali masa jabatan. Ketentuan lainnya mengenai pemilihan gubernur dan wakil gubernur DKJ bakal diatur dalam Peraturan Pemerintah.

Sementara jabatan wali kota atau bupati yang akan memimpin kota dan kabupaten administrasi akan diangkat dan diberhentikan oleh gubernur.

Berbeda dengan aturan di UU DKI Jakarta, pemilihan kepala daerah administratif DKJ tak perlu pertimbangan DPRD.

Warga Jakarta, Novi mengaku tak setuju jika gubernur dan wakil gubernur Daerah Khusus Jakarta ditunjuk oleh presiden.

Penjual gado-gado itu menginginkan agar kepala daerah dipilih melalui Pilkada seperti yang sudah berjalan selama ini.

“Gubernur lebih baik dari rakyatnya sendiri. Kalau dari presiden berarti nanti kan seanggotanya dia juga. Kalau pendapat saya lebih baik ya sesuai dengan pemilihan yang sudah ada aja,” kata Novi kepada , Rabu (6/12).

Novi menilai penunjukan gubernur oleh presiden akan menghasilkan seorang pemimpin yang tak mumpuni untuk rakyat.

Sebab, presiden akan memilih kawan dari partai pengusungnya untuk ditunjuk sebagai gubernur.

“Rakyat tidak bisa memilih mana wakil rakyat yang dia mau mana yang dia tidak mau. Kalau sesuai presiden ya dengan partainya itu sendiri biasanya koalisinya,” ujarnya.

Novi menyebut hal itu justru akan memicu konflik baik di masyarakat maupun di lingkungan pemerintahan.

Pedagang bernama Ahmad Rofiq menyebut pemilihan gubernur dan wakil gubernur oleh presiden membuat rakyat tak mengetahui karakter dan latar belakang dari pemimpin tersebut.

Ia berpendapat gubernur sebaiknya dipilih secara langsung oleh rakyat karena rakyat yang merasakan beban hidup di masa mendatang.

“Kalau rakyat yang memilih, itu puas karena dia melihat sendiri pekerjaannya yang dia dianggap itu pembelanya,” ucap Rofiq.

“Tapi kalau enggak dipilih oleh rakyat ya ancur. Karena rakyat enggak tau dia baik atau gimana kita enggak tau kelakuannya. Sebelum dia jadi kita enggak tau karakternya. Tau-tau nimbul,” sambungnya.

Menurutnya, pemilihan gubernur dan wakil gubernur oleh presiden akan membuat rakyat kecewa. Karena itu, ia meminta agar para pemimpin tak hanya memikirkan kepentingannya sendiri dan mengabaikan kepentingan rakyat.

“Nah rakyat bingung kalau pemimpin tanpa dipilih rakyat tau-tau diatur oleh dia seenaknya aja. Lebih bagus pemimpin itu dipilih oleh rakyat dengan hati nurani rakyat. Itulah yang namanya kepuasan rakyat,” tutur Rofiq.

Ibu rumah tangga, Ria mengatakan pemilihan gubernur dan wakil gubernur oleh presiden sama saja merampas hak demokrasi rakyat untuk memilih kepala daerahnya.

“Kalau sekarang begitu berarti kan kita seolah-olah diambil hak suaranya,” kata Ria.

Dengan adanya kebijakan itu, kata dia, masyarakat seakan dipaksa untuk menerima sosok gubernur pilihan presiden yang tak diketahui bebet, bibit dan bobotnya oleh rakyat.

“Kalau presiden yang milih langsung kan berarti kita terima-terima aja. Kita enggak tau lagi daerah ini mau diapain,” ujarnya.

Ria menilai hal itu akan menimbulkan gelombang demonstrasi karena masyarakat tak diberikan kesempatan untuk berpartisipasi dalam menentukan pemimpin daerahnya.

“Biasanya kan ketahuan nih calonnya ini ini visinya apa untuk bangun ini. Kalau sekarang berarti terserah presiden begitu ya. Mungkin warga juga enggak setuju ya kalau begitu. Kita cuma harus nurut aja,” ucap Ria.

Senada, penjahit bernama Aceng menyebut hak rakyat untuk memilih kepala daerah direnggut dengan adanya kebijakan tersebut.

Menurutnya, gubernur dan wakil gubernur ditunjuk oleh presiden seperti kembali pada masa pemerintahan Soeharto.

“Kalau gitu mah kayak jaman dulu lagi kayak jaman Soeharto lagi. Enggak kayak demokrasi yang sekarang. Jadi enggak ada hak untuk memilih,” ujar Aceng.

Padahal, kata dia, masyarakat memiliki preferensi masing-masing dalam menentukan sosok kepala daerah.

“Kita kan punya hak memilih, untuk cocok dan enggak cocoknya. Kalau kita memilih seseorang kita harus lihat-lihat dulu kan. Jangan asal milih,” katanya.

Kendati demikian, Aceng menyebut masyarakat tak bisa berbuat apa-apa dan pada akhirnya tunduk pada kebijakan tersebut.

“Walaupun di hatinya ada yang ganjel,” tandasnya.

Sementara itu, pekerja swasta bernama Agus mengaku setuju jika gubernur dan wakil gubernur ditunjuk oleh presiden. Dengan catatan, pemimpin terpilih benar-benar aspiratif dan mengakomodir kepentingan rakyat.

“Pemilihan gubernur dan wakil gubernur oleh presiden sebetulnya buat saya setuju saja karena siapapun yang menjadi wakil aspirasi dari rakyat selagi mereka aspiratif buat saya pribadi enggak masalah,” ucap Agus.

Agus menyebut pemilihan gubernur dan wakil gubernur oleh presiden mengurangi gesekan antar pemilih. Sebab, menurut dia, masyarakat banyak yang belum siap menerima kekalahan.

“Kalau saya sih lebih baik begitu karena kita belum siap untuk kalah dalam Pemilu,” ujarnya.

Di sisi lain, Agus mengatakan kebijakan gubernur dan wakil gubernur ditunjuk oleh presiden akan menimbulkan konflik kepentingan.

SUMBER:CNN