Alasan Kakek Presiden Prabowo Diusulkan Jadi Pahlawan Nasional

Alasan Kakek Presiden Prabowo Diusulkan Jadi Pahlawan Nasional

Jakarta – Sygma Research and Consulting menilai R.M Margono Djojohadikusumo, layak memperoleh penghargaan pahlawan nasional. “Jawa Timur ingin menjadi inisiator agar R.M Margono Djojohadikusumo dapat meraih kehormatannya, saya berpikir beliau sangat berhak untuk itu,” kata Komisaris Sygma Research and Consulting, Yuristiarso Hidayat pada Diskusi Discussion Group (FGD) Kajian Historis Usulan Gelar Pahlawan Nasional di dalam Aula PWI Jawa Timur, Surabaya, Jumat, 25 Oktober 2024 disitir dari Antara.

Margono ini merupakan ayah Sumitro Djojohadikusumo. Artinya, ia kakek Presiden Indonesia Prabowo Subianto. Lantas, apa alasan Margono Djojohadikusumo layak memperoleh penghargaan pahlawan nasional?

Yuristiarso Hidayat menyatakan pengusulan Margono Djojohadikusumo memperoleh penghargaan pahlawan menjadi pertimbangan. Sebab, idenya berasal dari Jawa Timur sedangkan area jika Margono Djojohadikusumo di dalam Daerah Banyumas. “Dasar pertimbangannya lahirnya Hari Pahlawan Nasional pada Surabaya,” ujarnya.

Seiring usulan itu, ujar Yuris, akan dilaksanakan kajian mendalam dengan akademisi dan juga praktisi melalui roadshow di dalam banyak kota. “Apalagi usulan ini sudah pernah mendapatkan dukungan dari Pemkab Banyumas sebagai aturan mendapat gelar kejuaraan pahlawan nasional berbekal berbagai dokumen penting dengan melibatkan peneliti, sejarawan, dan juga berbagai pihak penyusun kajian,” katanya.

Kajian historis mendalam yang dimaksud membedah peran Margono Djojohadikusumo di sejarah Indonesia. Menurut Yuris, keluarga Margono tercatat sebagai pejuang lantaran kedua anaknya gugur di perkembangan Pertempuran Lengkong, yaitu Kapten Anumerta Soebianto Djojohadikusumo lalu Taruna Soejono Djojohadikusumo. Nama dia kemudian diabadikan di nama cucu-cucunya seperti mantan Danjen Kopassus lalu Pangkostrad yang tersebut pada masa kini menjabat sebagai Presiden RI Prabowo Subianto juga adiknya Hashim Sujono. 

Adapun ayah Margono adalah priyayi yang tersebut menjadi pegawai pemerintah kolonial Belanda. Cucu buyut Raden Tumenggung Banyakwide atau dikenal sebagai Panglima Banyakwide, yang digunakan diklaim sebagai pengikut setia Pangeran Diponegoro.

Margono Djojohadikoesoemo adalah manusia politikus lalu bankir Indonesia. Dia adalah pendiri kemudian presiden pertama Bank Negara Indonesia, lalu juga anggota Panitia Pemeriksa Pekerjaan Persiapan Kemerdekaan.

Kariernya berawal dari pegawai di area Dinas Perkreditan Rakyat kemudian naik pangkat, menjabat sikap yang biasanya dipegang oleh orang Belanda di tempat Madiun. Keberhasilannya menghasilkan pejabat Hindia Belanda mengirimnya ke Belanda pada 1937 untuk membantu Kementerian Urusan Jajahan.

Sekembalinya ke Indonesia, Margono bekerja dalam Departemen Urusan Sektor Bisnis hingga pendudukan Negeri Matahari Terbit pada 1942. Pada masa pendudukan Jepang, Margono bekerja dalam Shomin Ginko (Bank Rakyat) kemudian kemudian membantu Mangkunegara VII di dalam Keraton Mangkunegaran. 

Di sana, ia bertugas mengurus substansi makanan, penyuluhan petani, serta mengawasi rumah gadai. Margono dikenal akibat kemampuannya memanipulasi pasukan Jepun untuk melindungi persediaan substansi makanan rakyat. Setelah proklamasi kemerdekaan, Margono diangkat sebagai ketua Dewan Pertimbangan Agung (DPA) yang digunakan bertugas memberi nasihat terhadap pemerintahan. 

Pada 1946, ia mendirikan Bank Negara Indonesia (BNI) juga memindahkannya ke Yogyakarta pada waktu pemerintah Indonesia hijrah ke sana. BNI berfungsi sebagai bank sentral dan juga berperan di sektor ekonomi Indonesia yang tersebut baru merdeka.

Margono terlibat pada upaya diplomasi Indonesia untuk mendapatkan pengakuan internasional. Salah satu bisnis penting adalah pengiriman beras ke India oleh Utama Menteri Sjahrir. Selain itu, Margono menyelamatkan aset BNI terdiri dari emas seberat tujuh ton ketika Agresi Militer Belanda II pada 1948. 

Emas yang dimaksud dijual ke Macau, kemudian hasilnya digunakan untuk keinginan pangan, biaya diplomasi, lalu persediaan peperangan melawan Belanda. Margono juga disebut berperan hingga tercapainya pengakuan Indonesia secara de facto dan juga de jure melalui Forum Meja Bundar (KMB). 

Pada 1950, ia bergabung mendirikan Yayasan Hatta yang mana bergerak di dalam bidang ilmu pengetahuan serta pendidikan, bertujuan meningkatkan kecerdasan generasi penerus bangsa. Margono meninggal pada 25 Juli 1978 dalam Jakarta, juga dimakamkan dalam pemakaman keluarga di area Dawuhan, Banyumas, Jawa Tengah. 

KHUMAR MAHENDRA | MICHELLE GABRIELA | DANIEL A. FAJRI | ANTARA